Jhaey mencoba menghilangkan penat yang ia rasakan dengan jalan-jalan kesebuah pantai yang ada dijakarta, dua jam telah berlalu namun apa yang ia rasakan tak pernah kunjung hilang dari kepalanya.

Bayangan dosen keparat itu seperti menghantui kemana ia pergi. Jhaey sangat kecewa ketika dia harus memperbaiki skripsinya kembali setelah berkali-kali dia menghadap Pak Agus, dosen pembimbingnya. Sudah tidak terhitung berapa kali dia harus menghadap beliau untuk bimbingan skripsi. Padahal, dia sudah memperbaiki sesuai permintaannya. Namun, setelah dia perbaiki dan diajukan kembali, masih ada saja yang disalahkan.

Padahal, dia ingin sekali segera mendapatkan gelar sarjana tahun ini sehingga bisa membahagiakan ibunya yang selama ini membesarkannya seorang diri. Ayahnya meninggal sejak dia berumur lima tahun, sementara ibunya belum menikah lagi. Untuk biaya hidup sehari-hari, ibu Jhaey membuka warung makan dan toko baju.

Untuk mengobati kekecewaannya, akhirnya Jhaey bertandang ke rumah Herman sahabatnya untuk mengeluarkan segala keluh kesahnya sekaligus curhat. Jhaey merasa lega apabila ada masalah lalu ia ceritakan kepada sahabatnya itu. Setelah dia memarkirkan motor di halaman rumah Herman, Jhaey segera menemui sahabatnya. Di ruang tamu, Jhaey menceritakan kekecewaannya kepada sahabatnya tentang tugas akhirnya yang belum kelar sama sekali.

“Dasar dosen killer! Berkali-kali aku memperbaiki skripsiku, tapi selalu saja ada yang salah. Apa sih maunya!?”

“Jhaey-jhaey, baru datang kok malah ngomel-ngomel, sih? Nih, diminum!” kata Herman sambil menyodorkan segelas air putih untuk Jhaey.

Jhaey menerima gelas berisikan air putih itu, lalu meneguknya. Kemudian, dia kembali mengungkapkan semua kekecewaannya kepada Herman, sementara sahabatnya hanya mendengarkannya saja. Ketika Jhaey sedang berkeluh kesah kepada sahabatnya, tiba-tiba dari pintu terdengar suara perempuan mengucapkan salam.

“Assalamuíalaikum.”

Di depan pintu, berdirilah seorang gadis cantik berpakaian gamis warna ungu dan hijab panjang dengan warna senada.

“Wa ‘alaikumsalam, eh, Manda. Silahkan masuk! Cari Ningsih, ya?” kata Herman.

“Iya. Ningsih ada, Mas Her?”

“Iya, ada. Sebentar saya panggilkan. Duduk dulu, Manda!”

Herman masuk ke dalam untuk memanggil Ningsih adiknya, sementara Jhaey dan Manda berada di ruang tamu berdua. Jhaey memandang gadis itu dan ia terpesona dengan keanggunannya. Selama ini, belum ada gadis yang membuatnya terpesona seperti ini. Sebenarnya, Jhaey ingin menyapanya. Namun, ia merasa malu. Jhaey berharap suatu saat Herman akan mengenalkan gadis itu kepada dirinya. Ketika Jhaey sedang terpesona dengan kecantikan gadis itu, tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara Ningsih, adik Herman.

“Hai, Manda. Kita ke halaman belakang saja, yuk!” ajak Ningsih.

“Iya, Ning.” Manda berdiri dan mengikuti Ningsih.

Tanpa sadar, mata Jhaey mengikuti gadis itu.

“Hei! Tundukkan pandanganmu, Jhaey!”

Suara Herman membuat Jhaey kaget dan malu.

“Siapa, itu, Man?” Tanya Jhaey.

“Manda, teman adikku. Dia adik kelas kita lho Jhaey".

“Oh, ya? Kok aku nggak pernah lihat di kampus, ya?”

“Jelaslah. Kamu kan hanya fokus di skripsimu yang nggak kelar-kelar juga. Ha-ha-,” canda Herman.

Wajah Jhaey kembali muram mendengar kelakar sahabatnya.

Setelah pertemuannya dengan Manda di rumah Herman, Jhaey merasa penasaran dengan gadis itu. Entah mengapa wajahnya selalu saja dalam ingatannya. Jhaey memohon kepada Galih untuk mengenalkannya dengan Manda. Namun, Herman selalu menolaknya dengan alasan agar dia fokus dulu di skripsinya. Herman berjanji akan mengenalkan Manda kepada Jhaey apabila ia sudah menyelesaikan skripsinya.

Suatu hari, Jhaey sedang mencari buku referensi untuk skripsinya di perpustakaan kampus. Di sana, dia melihat Manda sedang mencari buku. Dengan hati berdesir, Jhaey mencoba mendekati gadis itu dan menyapanya.

“Ma-ma-maaf, kamu Manda, kan?” kata Jhaey terbata-bata karena menahan degup jantung yang berdebar kencang kala melihat aura kecantikan manda.

“Iya, saya Manda,” jawab Manda tersenyum manis.

“Saya Jhaey,” kata Jhaey sambil mengulurkan tangannya.

Manda mengatupkan kedua tanggannya dan menarik ke dadanya. Dia tidak mau bersalaman dengan Jhaey.

“Ups, maaf.” Jhaey menarik tangannya kembali lalu melanjutkan perkataannya.

“Dulu kita pernah bertemu saat kamu main ke rumah Ningsih, dan saya ada di sana.”

“Oh, iya. Saya ingat. Emmm, maaf Mas Jhaey, saya mau ke kelas dulu, ya. Sebentar lagi ada kuliah,” kata Manda.

“Oh, silahkan,” kata Jhaey agak kecewa dengan sikap Manda yang kurang hangat ketika dia mengajaknya berkenalan. Hal ini membuat Jhaey semakin penasaran dengan Manda.

Suatu malam di rumah, Jhaey sedang sangat amat serius mengerjakan tugas skripsinya. Kemudian, ia didatangi seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik, wanita itu mendekatinya dan berkata kepada Jhaey.

“Bagaimana skripsimu, Jhaey? Ibu ingin sekali melihat dan mendampingi kamu di acara wisuda.”

“Doakan semoga cepat selesai, Bu. Jhaey janji, maksimal dua bulan lagi, skripsi harus selesai.”

Jhaey tidak mau bercerita tentang dosen pembimbingnya yang selalu menyusahkan dalam menyelesaikan skripsinya. Jhaey tidak mau menambah beban pikiran ibunya.

“Jhaey, ibu mau bilang sama kamu.”

“Bilang apa, Bu?”

“Ibu kan sudah lama sendiri. Emmm, boleh tidak kalau ibu menikah lagi?”

Jhaey tersentak dengan ucapan ibunya. Sebelumnya, ibu tidak pernah mengatakan ingin menikah lagi. Selama ini, ia juga tidak pernah melihat ibunya dekat dengan seorang pria.

“Ibu akan menikah lagi dengan siapa?” tanya Jhaey.

“Dua bulan yang lalu, ketika ibu ke rumah Pakde Tanza, beliau mengenalkan ibu dengan duda beranak satu. Setelah kami berkomunikasi jarak jauh, kami merasa cocok.”

“Terserah, Ibu saja, deh. Kalau Ibu bahagia, Jhaey pasti ikut senang,” Balas Jhaey.

Wajah ibu Jhaey nampak berseri mendengar jawaban putranya.

“Hari minggu besok, calon suami ibu akan kemari dengan keluarga besarnya untuk melamar ibu dan juga ingin berkenalan lebih jauh dengan keluarga besar kita.” Kata ibu Jhaey, kembali mengingatkan.

Hari Minggu yang dinanti tiba, keluarga besar Jhaey bersiap menyambut calon pendamping hidup ibunya. Sambil menunggu kedatangan calon pendamping ibunya, Jhaey kembali mengetik tugas skripsi di kamarnya. ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu hanya untuk menunggu. Jhaey sangat berharap skripsinya segera selesai.

Ketika Jhaey sedang mengetik, ia mendengar keramaian di ruang tamu dari dalam kamarnya...“Sepertinya, tamunya sudah datang,” ujarnya dalam hati.

Jhaey segera bergegas menyimpan data dan mematikan laptopnya. Setelah itu, dia menuju ke ruang tamu untuk ikut serta menyambut keluarga besar calon suami ibunya. Ketika Jhaey sudah berada di ruang tamu, dia melihat beberapa tamu sudah duduk di kursi masing-masing. Tiba-tiba, Jhaey sangat terkejut melihat Pak Agus, dosen pembimbingnya dan juga Manda, gadis yang dia kagumi turut hadir di acara ini.

“Duduk di sini, Jhaey!” Pinta Ibunya.

Jhaey mengangguk lalu duduk di kursi sebelah ibunya. Hatinya bertanya mengapa Pak Agus dan Manda hadir di acara lamaran ibunya.

Setelah semua hidangan tersaji di meja, Pakde Tanza memandu acara lamaran. Lalu, beliau mempersilahkan Pak Agus untuk berbicara. Kemudian, Pak Agus memperkenalkan diri dan keluarganya, serta menyampaikan maksud kedatangannya.

Bagai disambar petir siang hari Jhaey kembali terkejut setelah mendengar bahwa maksud Pak Agus datang kerumahnya adalah untuk melamar ibunya dan Manda gadis pujaannya adalah putri Pak Agus.

Ingin rasanya Jhaey berlalu dari tempat itu, namun tubuhnya bagai terpaku kuat, dan dunia seperti beku mati. Jhaey tak tahan menahan semua gejolak perasaan hatinya iapun hanya pasrah berpeluh derita.




~ THE~END ~